Struktur Morfologis
Bahasa Gaul “Paragram”
A. Latar
Belakang
Manusia hidup tidak statis tapi dinamis. Begitupun dalam hal berbahasa.
Berbicara tentang masalah kedinamisan bahasa, dapat dilihat banyak fenomena
yang terjadi dalam hal kebahasaan di Indonesia. Pada dasarnya, kejadian itu memang
bisa dimaklumi. Karena, salah satu sifat bahasa yang lain ialah arbitrer atau
manasuka. Secara sepihak, sebuah kata tidak dapat dinyatakan salah atau benar.
Misalnya, kata “gedang” dalam bahasa Sunda artinya pepaya, sedangkan dalam
bahasa Jawa artinya pisang. Karena, setiap tempat atau wilayah mempunyai sistem
bahasa masing-masing yang terkadang berbeda.
Arbitrerisasi sebagai salah satu sifat bahasa memiliki dampak dalam
kebahasaan di Indonesia. Dengan keadaan manasuka itulah bahasa Indonesia
semakin beragam sesuai dengan ragam masyarakat bahasa yang menuturkannya. Saat
ini muncul beragam fenomena bahasa gaul. Ragam bahasa gaul banyak dituturkan
oleh remaja (anak muda) atau orang-orang yang terlibat dalam komunitas
tertentu. Ragam bahasa gaul, mempunyai
mempunyai beberapa fungsi yaitu: untuk mencapai keunikan atau kekhasan dalam
bertutur, kepraktisan (tidak kaku) di dalam bertutur, atau agar bahasa tersebut
hanya dapat dipahami oleh orang atau komunitas tertentu.
Bahasa gaul memiliki beberapa ragam. Di antaranya ialah kata gaul
yang dibentuk dengan memelesetkan kata dan memiliki intonasi atau langgam yang
khas seperti cape de(c)h menjadi cuape de(c)h, capcay de(c)h, dsb. Ada juga
kata gaul yang dibentuk dengan cara pembalikan kata di dalam tuturan. Seperti
kata “duit” menjadi “tiud”, “mobil” menjadi “libom”, “makan” menjadi “nakam”,
“haus” menjadi “suah”, dsb. Dan, ada juga ragam bahasa gaul lainnya yang lebih
rumit lagi. Di dalam linguistik terkenal dengan istilah parafasia yang menurut
Harimurti dalam kamus linguistik, parafasia ialah cacat produksi bahasa yang
terlihat dari pengacauan bentuk kata atau dari penukarannya dengan kata lain
sehingga maknanya tidak dapat dipahami. Maka, muncul orang-orang yang kreatif
dengan cara menyusun kamus bahasa gaul.
Di dalam makalah ini, penulis akan mencoba menganalisis tentang
salah satu ragam bahasa gaul yaitu bahasa gaul yang dibentuk melalui
pemelesetan kata. Contohnya yaitu: Cape de(c)h yang dikembangkan menjadi
berbagai bentuk seperti Cabe de(c)h, cuape de(c)h, capcay de(c)h, dsb., mene ke
tehe yang dibentuk dari kata awal mana ku tahu, sutris yang dibentuk dari kata awal
stres, dsb. Secara sekilas, kita melihat bahwa ragam jenis ini menghasilkan
kata-kata unik dan kadang kita bertanya-tanya tentang arti dari kata baru itu
yang tidak ada di dalam kamus. Namun, ternyata kalau dikaji lebih mendalam,
ragam ‘bahasa aneh’ itu juga mempunyai pola.
Bahasa gaul memang unik dan menggelitik masyarakat bahasa khususnya
anak muda untuk menuturkannya. Dengan prinsip “semakin unik semakin menarik”,
bahasa gaul dapat menjadi virus yang sangat cepat menyebar dan negatifnya ialah
kalau bahasa jenis itu sampai mengacaubalaukan standar bahasa Indonesia yang
sesuai EYD. Tapi, lagi-lagi berbicara tentang arbitrerisasi bahasa.
Bagaimanapun ‘anehnya’ bahasa jenis itu yang terkadang jauh dari konteks
aslinya apalagi sering berbenturan dengan aturan EYD, bahasa jenis itu masih
mempunyai banyak penutur yang meminati. Apalagi kalau ini sudah berkaitan
dengan kreativitas.
B. Rumusan
masalah
Di dalam makalah ini, penulis
merumuskan beberapa rumusan masalah yaitu:
1.
Apakah arti dari kata-kata
gaul atau kata yang dimodifikasi terdapat di dalam kamus?
2.
Apakah ragam bahasa gaul mempunyai pola sama seperti bahasa standar EYD yang mempunyai
pola?
3.
Apakah bahasa gaul atau kata
yang dimodifikasi mempunyai pola yang ritmis?
C. Kerangka
Teori
“Manusia merupakan homo fabulans, homo ludens, dan homo symbolicum
(makhluk bercerita, makhluk bermain, dan makhluk pencipta lambang) yang
mengisyaratkan, bahkan mensyaratkan adanya tutur dalam kehidupan manusia.”
(Djoko Saryono, 2006:13)
Salah satu potensi alamiah yang diberikan Tuhan kepada manusia ialah
kemampuan manusia dalam berkomunikasi. Kemampuan ini terkait dengan peran
manusia sebagai makhluk sosial yaitu manusia melakukan interaksi untuk memenuhi
segala keperluan hidupnya. Untuk berinteraksi inilah manusia melakukan
komunikasi. Dan, dalam berkomunikasi ini pula manusia menggunakan bahasa yang
telah di sepakati.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa
persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia (Nugroho Trisnu Brata,
duniaesai.com). Pada tahun 1928 bangsa Indonesia telah berikrar melalui pemuda-
pemudinya bahwa bahasa Indonesia menjadi wujud pemersatu bangsa. Dan, bahasa
Indonesia pun menjadi simbol nasionalisme yang akan semakin memperkokoh bangsa.
Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional sifatnya dinamis yaitu
akan mengalami perubahan-perubahan entah itu perluasan atau penyempitan, atau
bahkan timbul istilah-istilah baru. Tentang identitas ini, Nugroho (dalam
duniaesai.com) juga menulis bahwa Identitas ini tidak stabil, selalu berproses
lewat wacana untuk berkomunikasi sehingga identitas selalu dinamis, berubah
atau bahkan musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan
identitas.
Tentang fenomena dinamisasi bahasa dan keragamannya,
Kridalaksana menyatakan “Dalam keadaannya sekarang ini bahasa Indonesia
menumbuhkan varian-varian menurut pemakai yang disebut dialek dan varian
menurut pemakaian yang disebut ragam bahasa” (Harimurti Kridalaksana, 1996:2).
Selain itu, dalam Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia, Kridalaksana
menyatakan bahwa bahasa sebagai fenomena yang memadukan bagian dunia makna dan
bunyi mempunyai tiga subsistem, yaitu subsistem fonologis, subsistem
gramatikal, dan subsistem leksikal.(Harimurti Kridalaksana, 1996:5).
Bahasa gaul termasuk ragam nonstandar. Dalam ragam ini
dikenal beberapa istilah. Di antaranya ialah Parafasia (paraphasia) adalah
cacat produksi bahasa yang terlihat dari pengacauan bentuk kata atau dari
penukarannya dengan kata lain sehingga maknanya tidak dapat dipahami. Selain
itu ada pula yang disebut paragram. Paragram adalah permainan kata-kata dengan
mengubah hurup, umpamanya di dalam humor. (Harimurti Kridalaksana, 2001:154)
Di dalam fonologi ada beberapa istilah tentang
penyisipan dan penghilangan bunyi atau huruf ke dalam kata yang dikenal sebagai
“PEPASA”. Berikut ini ialah pengertiannya yang diambil dari glosari “Fonetik
dan Fonologi” karya Yusuf suhendra dan Kamus Linguistik Karya Harimurti
Kridalaksana.
1.
Protesis (prothesis,
prosthesis): Penambahan vocal atau konsonan pada awal kata untuk memudahkan
pelafalan.
2.
Epentesis (Epenthesis): Penyisipan
bunyiatau huruf ke dalam kata, terutamakata pinjaman untuk menyesuaikan dengan
pola fonologis bahasa peminjam; mis. Penyisipan/ e/ dalam kelas.
3.
Paragog (Paragogue):
Penambahanbunyi pada akhir kata untuk keindahan bunyi atau kemudahan lafal;
mis. Penambahan bunyi [u] pada lampu.
4.
Aferesis (aphaeresih):
Penanggalan bunyi atau kata dari awal sebuah ujaran; mis. Selamat pagi! Menjadi
pagi!
5.
Sinkope (syncope): Hilangnya
bunyi atau hurufdari tengah-tengah kata; mis. Latin domina menjadi Spanyol
donna.
6.
Apokope: Pemenggalan satu bunyi
atau lebih di akhir kata.
D. Analisis
Permasalahan
Berikut ialah analisis tentang salah satu ragam bahasa gaul yaitu
bahasa gaul yang penciptaanya menggunakan proses kreatif memelesetkan kata atau
mempermainkan kata dengan mengubah huruf (paragram). Sebelum masuk ke analisis
contoh kata yang mengalami modifikasi kreatif, penulis akan mencoba
menggambarkan dulu proses kreatifitas dalam penciptaan sebuah kata unik.
Proses kreatif
dalam penciptaan bahasa atau kata baru
|
||||
|

![]() |
|||||
![]() |
|||||
|

Implementasi dalam salah satu ragam bahasa gaul yaitu pemelesetan
kata. Modifikasi bahasa gaul bisa disebabkan oleh adanya asosiasi yaitu
menautkan antara satu hal dengan hal lainnya.
Contoh:
![]() |
Uniknya bahasa gaul ialah bahasa jenis ini selalu diperbaharui
dengan terus mencari-cari kata yang baru atau mengalami modifikasi yang
beraneka ragam. Contohnya ialah kata gaul “Cape de(c)h” yang mengalami berbagai
modifikasi.







Cabe
de(c)h
Capcay
de(c)h
Cakue
de(c)h
Cepe de(c)h
Tape
de(c)h
(?)
Ket: (?) =
memungkinkan masih adanya variasi baru
Jadi, proses kreatif itu bukan berbentuk lurus—input-process-output—melainkan
berbentuk siklus yaitu input-process-output-input-process-output atau
dengan kata lain yaitu saat terbentuknya hasil dari modifikasi kata, masih
memungkinkan kata itu dimodifikasi lagi atau diperbaharui lagi begitu
seterusnya dan bergerak sesuai dengan dinamisasi bahasa.
Apakah bahasa gaul ragam
“pemelesetan kata” mempunyai pola yang menyusunnya?
“Bahasa sebagai fenomena yang
memadukan bagian dunia makna dan bagian dunia bunyi mempunyai tiga subsistem,
yaitu subsistem fonologis, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal”
(Harimurti Kridalaksana, 1996:5).
Dalam linguistik ada istilah yang disebut paragram yaitu permainan
kata-kata dengan mengubah hurup, umpamanya di dalam humor. Penulis akan mencoba
menganalisis melalui beberapa contoh kata.

Cape de(c)h adalah kata nonstandar atau kata gaul yang
mengalami berbagai modifikasi. Dilihat dari kata-kata di atas, kata-kata baru
mempunyai pola pengucapan yang sama dengan kata awal. Jadi tak cocok kalau
seandainya kata “Cakue de(c)h menggunakan pola pengucapan “mene ke tehe”.
Pengucapan ‘cakue de(c)h’ tepatnya ya menggunakan pola pengucapan ‘cape de(c)h.
Dalam modifikasi Cape de(c)h menjadi
Cuape de(c)h ada penambahan bunyi baru yaitu [u]. Di dalam Fonologi, penambahan
bunyi [u] disebut epentesis (epenthesis) yaitu penyisipan bunyi atau huruf ke
dalam kata. Apakah penambahan bunyi [u] ini tetap dan menjadi pola pada kata
lainnya? Dapat kita lihat dari hasil modifikasi bahwasannya hasil modifikasi
berbeda-beda.



Contoh-contoh di atas seperti
menunjukkan bahwa pola kata itu cukup ritmis yaitu mengubah satu bunyi dengan bunyi
yang lainnya. Namun, bagaimana dengan kata di bawah ini?


Kata di atas terlihat sangat tidak beraturan. Kata cape menjadi
cakue atau capcay. Pengubahannya sangatlah jauh sekali. Mungkin modifikasi itu
lebih tepat apabila disebut penghilangan beberapa bunyi dan penambahan beberapa
bunyi baru.


Penulis kembali tegaskan bahwa
meskipun kata-kata hasil modifikasi dari cape de(c)h tak beraturan atau
memiliki pola yang tidak harmonis. Namun, kata-kata tersebut mempunyai kesamaan
pola dalam pengucapan. Jadi, hasil modifikasi dari ‘cape de(c)h’ hanya tepat
apabila menggunakan pola pengucapan ‘cape de(c)h dan bukan pola pengucapan
‘meneketehe’. Modifikasi kata-kata itu banyak terjadi disebabkan oleh asosiasi.
Bagaimanapun perubahan kata-kata tersebut, baik itu penambahan atau
pengurangan, selama kata-kata hasil modifikasi itu enak dituturkan dan masih
ada usaha untuk menautkan, maka kata itu pun akan digunakan oleh masyarakat
bahasa yang menuturkaannya. Meskipun, sesungguhnya masyarakat tahu bahwa arti
kata-kata yang dihasilkan pun berbeda. Cape berbeda dengan cabe, tape, capcay,
atau cakue. Namun, orang tak menghiraukan itu. Yang orang pikirkan ialah enak
tidaknya atau cocok tidaknya intonasi khas kata-kata tersebut saat dituturkan.
Mungkin kata-kata yang dicontohkan tadi bisa dimasukkan ke dalam jenis paragram
atau permainan kata.
Sebagai pembanding, penulis pun akan
menganalisis pelesetan kata lainnya yang mengalami modifikasi.

Mana ku tahu dimodifikasi menjadi mene ke tehe memperlihatkan pola
yang ritmis yaitu perubahan yang terjadi pada vokal di kata awal.’
Mana ku tahu ---------- Mene
ke tehe
Vokal yang terdapat dalam ‘mana ku tahu’ diseragamkan menjadi bunyi vokal
‘e’. Pola yang ritmis dan memungkinkan adanya kreatifitas lain yaitu
penggantian bunyi vokal dalam ‘mana ku tahu’ dengan bunyi vokal lainnya (a, i,
u, o).
Mana ku tahu --------------
Mana ka taha
Mana ku tahu --------------
Mini ki tihi
Mana ku tahu --------------
Munu ku tuhu
Mana ku tahu --------------
Mono ko toho
Mungkinkah? Mungkin saja. Namun, belum ada penutur yang menggunakan
modifikasi macam itu. Selain pola yang ritmis seperti itu, adakah modifikasi
lain yang terbentuk dan nampak tak beraturan?
Mana ku tahu ---------- mene ke teng-teng (meneketengteng). Dari
kata awal mana ku tahu kemudian menjadi mene ke teng-teng tidak ritmis, berbeda
dengan kata-kata sebelumnya. Namun, kalau mencoba mengamati lebih jauh, ‘mene
ke teng-teng’ mengalami dua kali modifikasi. Yang pertama ialah berubahnya mana
ku tahu menjadi mene ke tehe kemudian diubah lagi menjadi mene ke teng-teng.

Terlepas dari harmonis tidaknya pola yang terbentuk di dalam ragam
bahasa gaul, ini merupakan ‘rasa’ sang penutur. Jadi, mungkinkah akan ada lagi
kreasi lainnya yang meskipun tak memiliki pola yang harmonis? Mungkin saja.
Selama ada penutur yang menciptakan kreasi baru. Dan, selama ide-ide kreatif
terus bermunculan.
Seperti dua kata sebelumnya, OK (Oke) juga mengalami modifikasi
Meskipun tidak mempunyai pola yang teratur dan terlihat tidak harmonis,
kata-kata hasil modifikasi ‘oke’ mempunyai intonasi khas saat dituturkan.
Dan, lagi-lagi ini merupakan persoalan ‘rasa’
di dalam tuturan.
![]() |
Oke ------- Okeh.
Penambahan bunyi konsonan [h] di akhir kata pada
suku kata ke dua (paragog)
Oke ------ Oceh. Penyisipan konsonan [c] (epentesis), penambahan [h] di
akhir kata (paragog) dan penghilangan bunyi
[k] dari
tengah kata
(sinkop) pada suku kata ke dua.
Oke ----- Okay. Penyisipan
bunyi vokal [a] di tengah kata
(epentesis),
Penambahan konsonan [y] di akhir kata (paragog), dan
penghilangan vokal e (sinkop) pada suku kata ke dua.
Oke ------ Otreh.
penyisipan bunyi konsonan [t], [r] di tengah kata
(epentesis), dan penambahan [h] pada akhir kata (paragog) pada suku
kata ke dua
Oke ------- Ocey.
Penyisipan bunyi konsonan [c] di tengah kata
(epentesis) dan [y] di akhir kata (paragog) pada suku kata
ke dua.
Kata terakhir yang mengalami modifikasi ialah ‘stres’.
![]() |
Stres merupakan kata yang diadaptasi dari bahasa ingris yaitu
‘stress’. Di dalam kamus, stress adalah “ 1. ketegangan...2. tekanan...” (John M. Echols dan Hassan
Shadily, 2005: 561). Bagaimana dengan arti setelah mengalami modifikasi?
Mengenai arti dari kata-kata yang telah mengalami modifikasi, kata-kata itu
tidak dapat ditemukan di dalam kamus. Karena, kata-kata tersebut baru dan termasuk
ragam bahasa nonstandar.
Stres ------- sutris
Kata stres terdiri dari satu suku kata (syllable) yaitu stres
sedangkan sutris terdiri dari dua suku kata yaitu su-tris. Kalau dilihat dari
jumlah hurup dalam satu kata, perubahan terjadi dengan penambahan hurup vokal u
dan penggantian vokal e menjadi i. Maka, jadilah stres menjadi sutris. Dan,
masih memungkinkan munculnya variasi-variasi baru.
E. Simpulan
Manusia adalah makhluk bercerita dan
makhluk pencipta lambang. Jadi, manusia adalah subyek yang melakukan proses
penciptaan bahasa.
Dinamisasi dan arbitrerisasi bahasa memungkinkan munculnya keragaman
bahasa atau modifikasi bahasa.
Meskipun ‘kata-kata’ yang mengalami modifikasi itu tidak ada di
dalam kamus, penutur sangat senang menggunakannya sehingga itu menjadi sebuah
pembiasaan dan menganggap kata awal dan kata hasil modifikasi sama saja
artinya. Seperti kata sutris yang diartikan sama dengan stres, oceh disamakan
dengan oke, capcay de(c)h yang disamakan dengan cape de(c)h, dsb.
Proses pembentukan kata-kata unik atau bahasa gaul akan terus
berlangsung dan prosesnya seperti siklus yaitu input-process-output-input-process-output
dan seterusnya. Hal itu karena, manusia sebagai pencipta lambang akan terus
berproses mencari sesuatu yang baru.
Pola yang dihasilkan dari modifikasi kata gaul tidak begitu ritmis
dan tidak harmonis. Karena, penciptaan kata itu pun tidak melihat aturan dan
lebih mengandalkan ‘rasa’ atau kenyamanan saat dituturkan. Dan, ini juga
berkaitan dengan ‘sense of unique’ yang ingin ditampilkan sang pencipta
bahasa.
Kreativitas dalam penciptaan
penciptaan bahasa baru masih memungkinkan untuk terus terjadi. Namun, kita pun
tahu bahwa pemuda-pemuda Indonesia zaman dahulu telah berikrar melalui sumpah
pemuda. Bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang disepakati sebagai bahasa
pemersatu bangsa. Jadi, meskipun bahasa semakin beraneka ragam kita harus tetap
menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Dan, harus cerdas dalam
menggunakan ragam bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Apit (2006).
Ketidaksadaran-akan-Sebuah-Kemurnian-bahasa-Indonesia. Tersaji
dalam http://apit.wordpress.com [1
Juni 2008]
Barata, Nugroho Trisnu.____ . Bahasa dan dinamika dalam Masyarakat. Tersaji
dalam http://www.duniaesai.com/antro/antro2.html.
[1 Juni 2008]
Echols, John M.
dan Hassan Shadily. 2005. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia
Kridalaksana,
Harimurti. 1996. Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana,
Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Saryono, Djoko. 2006. Pergumulan
Estetika Sastra di Indonesia. Malang: Pustaka
Kayutangan.
Yusuf, suhendra. 1998. Fonetik dan
Fonologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Struktur Morfologis
Bahasa Gaul
“Paragram”
Makalah Ini disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Morfologi
![]() |
Oleh
Nama : Sri Maryani
NIM : 0706354
Kelas : Dik C
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar